30 Juli, 2009

Citra Perempuan dalam Budaya Pop

Akhir abad ke 20 ditandai oleh perkembangan wajah dunia dan kebudayaan kontemporer yang dibentuk oleh hutan rimba tanda-tanda dan citraan yang datang dan pergi dalam kecepatan tinggi, apakah itu citraan film, iklan bilboard, majalah, video, televisi, komputer, internet, atau produk konsumer. Citraan-citraan ini membentuk realitas baru dunia yang kita merupakan bagiannya, dan ia menjadi model kehidupan nyata. Realitas citraan ini membentuk abad ke 20 sebagai abad citraan, yang mencapai kulminasinya pada riuh rendah citraan elektronik seperti, televisi, vidoe clip, dan internet. Kecenderungan realitas citraan ini tampaknya akan terus berlanjut pada abad ke 21 ini.

Heidegger dalam artikelnya, The Age of the World Picture, menyatakan bahwa dengan berkembangbiaknya citraan-citraan di sekeliling kita. Maka eksistensi kita pada akhirnya akan berubah sebagai ontologi citraan. Kita dikungkung oleh citraan-citraan dari segala penjuru. Dan citraan-citraan tersebut menjadi cermin tempat kita berkaca, tempat kita mencari eksistensi diri kita. Akibatnya, kita seolah menjadi lupa bahwa manusia sebenarnya adalah homo mechanicus. Yang secara kognitif selalu aktif menata, menyaring dan mengolah stimulan yang diterimanya. Kita seolah menjadi lupa bahwa semua orang bebas menentukan pilihan dalam hidupnya.

Dan, yang menjadi korban utama dalam abad citraan ini adalah kita, para kaum perempuan. Kita, sebagai perempuan, tidak lagi menjadi Homo Mechanicus yang bebas untuk mendefinisikan dan memaknai arti sebuah kecantikan. Karena media telah membakukan arti kecantikan. Kecantikan selalu diidentikkan dengan kulit yang putih mulus, rambut yang hitam dan lurus, dan tubuh yang ramping. Akibatnya, kita para kaum perempuan, justru telah menjelma menjadi Homo Volens, yang digerakkan oleh banyak hasrat terpendam seperti keinginan menjadi kaya, terkenal, tampil menarik, dan dianggap cantik.

Hasrat-harat terpendam pada perempuan semacam tubuh seksi seperti gitar, kulit putih mulus dan wajah cantik. Telah dijadikan modal untuk melakukan cuci otak dan pembakuan konsep ”perempuan sempurna” demi eksploitasi lebih lanjut oleh para pemilik modal dalam rezim budaya media ini. Keresahan dan kegelisahan perempuan terhadap tubuhnya digambarkan dengan menarik sekali oleh Andrea Dworkin dalam Woman – Hating berikut ini.
In Our culture, not one part of a woman’s body is left untouched, unaltered. No feature or extremity is spared the art, or pain, of improvement…from head to toe, every feature of a woman’s face, every section of her body, is subject to modification, alteration. This alteration is an on going, repetitive process. It is vital to the economy, the major substance of male-female differentiation, the most immediate physical and psychological reality of being a woman. From the age of 11 or 12 until she dies, a woman will spend a large part of her time, money and energy on binding, plucking, painting and deodorizing herself. (New York: Dutton).

Sengaja kita kutipkan agak panjang pendapat dari Andrea Dworkin, agar dapat menggambarkan betapa perempuan dan tubuhnya adalah topik yang terus menerus diributkan oleh laki-laki dan terutama oleh para perempuan sendiri. Tiada hari yang lewat tanpa memuji atau mengkritik tubuh sendiri, kosa kata seperti kegemukan atau kekurusan adalah yang akrab di mulut perempuan. Mencapai tubuh dan rupa yang sempurna adalah keinginan hampir setiap wanita dan merupakan isu terbesar dalam hidup perempuan. Industri bisnis budaya media tentunya jeli melihat peluang ini dan akan menjadikan perempuan terus menerus sebagai objek sasaran empuk komoditas bisnis para pemegang modal.

Menurut Akbar S. Ahmed, bagi para perempuan, zaman budaya media adalah perangkap keindahan yang menyakitkan dan sekaligus menggiurkan. Penampilan wajahnya harus anggun namun atraktif, tubuhnya sintal, bibirnya sensual, langsing dan memilii daya pikat seksual, pakaiannya pun harus mutakhir. Bahkan perempuan sepertinya tidak boleh buruk nafas, jerawatan, apalagi bau badannya. Media terus saja menanamkan kepada para perempuan tentang pandangan hidup dimana tubuh dijadikan satu-satunya pusat kesadaran. Fenomena seperti ini oleh para sosiolog humanis ada yang menyebutnya sebagai ”urbanisasi kesadaran”. Dimana fenomena kesadaran tersebut berkembang pesat berkat kemajuan teknologi komunikasi/ informasi yang telah menciptakan wajah baru kebudayaan popular.

Mungkin karena sedemikian berjalin-berkelindannya hubungan antara perempuan dan budaya popular media, maka John Storey dalam Cultural Studies and The Study of Popular Culture, sampai-sampai menyatakan bahwa, kini sama sekali tidak mungkin membayangkan budaya pop dan cultural studies tanpa sekaligus membayangkan sekian banyak kontribusi yang diberikan oleh feminisme terhadap kajian budaya pop.


Para perempuan dalam zaman budaya media ini menjadikan sosok perempuan dalam iklan, film, dan video clip sebagai citra ideal dan role model pribadi. Mereka saling berlomba untuk bisa menyamai serta meniru gaya dan bentuk tubuh dari para nabi pop tersebut. Para perempuan ingin tampil bagai Dian Sastro, Tamara Blezinsky, Agnes Monica, Britney Spears, atau bahkan Madonna.


Orang-orang Barat pun seolah sengaja hanya ingin mengenalkan beberapa perempuan Barat saja untuk bisa kita kenali. Dan kepada mereka itulah kita, kaum perempuan, harus selalu merujuk. Mereka adalah perempuan-perempuan yang diperkenalkan melalui film-film, majalah, dan televisi. Mereka adalah tipikal perempuan ala cewek-cewek James Bond, sang pahlawan populer. Dimana antara Bond dan cewek-cewek Bond seolah menggambarkan sebuah ”modernisasi” seksualitas, wakil dari norma maskulinitas dan femininitas yang ”membebaskan” dari batasan-batasan norma masa lalu.


Kita, para perempuan di negeri Timur seolah tidak berhak mengetahui si gadis Eropa yang di usia enam belas pergi ke gurun-gurun Nubi, Afrika, gurun-gurun Aljazair, dan gurun-gurun Australia. Ia melewatkan seluruh hidupnya di tempat liar. Dengan ancaman sakit, kematian, juga suku-suku liar. Hinga akirnya dia menemukan bahasa semut. Kita, kaum perempuan, juga dianggap tidak berhak tahu tentang Madame Currie yang menemukan kuantum dan radioaktivitas. Juga Resass De la Chapelle, gadis cantik Swedia, yang meneliti nasakah tentang Sayidina ’Ali.


Sebagian besar kaum perempuan kita, seolah hanya memiliki satu diktum saja. Aku berbelanja karena itu aku ada. Dalam berbelanja barang pun, tujuan utamanya bukan untuk memenuhi kebutuhan. Tapi lebih sebagai sarana untuk mengonsumsi tanda (sign). Untuk meraih petanda (signified) berupa mendapatkan prestise dan pengakuan sosial. Di sini nilai guna barang telah bergeser menjadi nilai tanda barang. Untuk mendapatkan atau juga untuk menaikkan citra pribadi agar dianggap gaul dan ”modern”.


Perilaku konsumeris itu, menurut Jean Baudrillard, untuk meraih keadaan ekstasi. Yaitu suatu kondisi mental dan spiritual di dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu titik dimana ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai sebuah pribadi yang hampa. Menjadi seseorang yang tenggelam di dalam perpusaran siklus hasratnya, yang pada satu titik ekstrim nantinya akan hampa dari segala makna dan nilai moral.


Keindahan tubuh perempuan dalam sistem budaya popular merupakan bagian penting produksi dan promosi komoditi. Jika seorang perempuan tidak mampu tersenyum dengan menawan, tidak bisa berjalan dengan indah, dan tidak memliki penampilan tubuh yang sempurna, maka perempuan tersebut akan dianggap tidak memiliki kepribadian yang menarik. Dan pada akhirnya kepribadian yang menarik itu dibutuhkan oleh seorang perempuan untuk dapat menjual jasa-jasa komoditi. Dengan kata lain, usaha penciptaan penampilan dan kepribadian menarik tersebut dengan tujuan untuk dipertontonkan sebagi suatu sistem rayuan dalam usaha menjual jasa komoditi.


Penggunaan tubuh perempuan dan representasi tubuh perempuan sebagai komoditi di dalam berbagai bentuk budaya popular telah mengangkat berbagai persoalan yang tidak saja menyangkut relasi ekonomi. Tapi lebih jauh lagi adalah relasi ideologi. Yakni bagaimana penggunaan penggunaan tubuh perempuan dan citra tersebut menandakan sebuah relasi sosial, khususnya relasi gender. Yang dikonstruksi berdasarkan sistem ideologi kapitalis-patriarki. Apa yang sebenarnya terjadi adalah ideologisasi atau ”mistifikasi tubuh perempuan”, yaitu relasi tubuh secara fisik dilihat sebagai sebuah relasi sosial antara laki-laki dan perempuan yang di dalamnya dibentuk posisi sosial yang berbeda. Yaitu antara yang kuasa dan tak kuasa, subyek dan objek, dominan dan yang didominasi.


Dunia yang dibangun berlandaskan ideologi kapitalis-patriarki, seperti dalam budaya pop ini, adalah sebuah dunia yang di dalamnya perempuan direpresentsikan lewat bahasa dan menempatkan mereka pada posisi the second sex. Yang lemah, pasif, tak berdaya, yang sekedar menjadi objek komoditi, semata untuk memenuhi kesenangan laki-laki sebagai subjek. Dalam sistem budaya pop, tubuh perempuan menjadi elemen sentral ekonomi politik. Ini disebabkan karena tubuh perempuan memiliki citra estetika, gairah, sensualitas, dan erotisme yang merupakan raison d’etre setiap produk komoditi. Tubuh wanita itu sendiri menjadi komoditi dan metakomoditi, yaitu komoditi yang digunakan untuk menjual komoditi-komoditi lainnya.


Tubuh perempuan di dalam budaya pop tidak saja dieksplorasi nilai gunanya seperti pekerja, prostitusi, pelayan) akan tetapi juga nilai tukarnya (seperti gadis model, gadis peraga, hostes) dan kini bahkan nila tandanya juga (seperti pornografi, erotic art, erotic video, erotic magazine, porno film, porno sites). Tubuh wanita dengan demikian menjadi urat nadi ekonomi-politik dan budaya popular, dengan segala potensi ekonomi yang dimilikinya.


Kecenderungan ekonomi – politik tubuh perempuan ini telah membuka ruang yang sangat lebar bagi perkembangan dan pembiakan berbagai bentuk pornografi, erotisme dan sensualitas di dalam sistem budaya popular. Budaya popular dengan ditumpangi budaya patriarki telah mengeksploitasi setiap potensi tubuh perempuan sebagai bahan baku pornografi sebagai komoditi kapitalisme.


Sikap kapitalisme budaya pop terhadap tubuh perempuan adalah penghancuran berbagai pembatasan dalam penggunaan tubuh, menanggalkan berbagai selubung penutup tubuh, mengekspose berbagai rahasia tubuh perempuan, merayakan dan memuja berbagai komponen tandanya, memberikan ruang bagi ekspresinya yang bebas. Singkatnya kapitalisme budaya pop menciptakan ruang yang terbuka luas untuk pembiakan pornografi.


Kondisi tersebut memang di satu pihak akan menciptakan berbagai gairah baru bagi kapitalise budaya pop itu sendiri. Tetap di pihak lain, ia telah menimbulkan berbagai kegamangan, kekhawatiran, dan ketidakpastian pada kelompok-kelompok yang di dalam sistem ekonomi seperti itu akan cenderung meminggirkan perempuan. Dan memasungnya sekedar sebagai komoditi pornogafi. Meskipun sebagian pemikir, termasuk Jean Baudrillard menganggap hal itu justru menguntungkan kaum perempuan.


Lalu bagaimanakah kita harus menghadapi berbagai kekhawatiran menyangkut eksistensi perempuan di dalam budaya popular masa depan ? Memang persoalan – persoalan pornografi adalah persoalan yang dilematis. Khususnya dilema antara kebebasan/moralitas, pertumbuhan/tradisi, kreativitas/norma. Sementara itu, di sisi lain peran negara di masa depan tidak lagi bisa diharapkan dalam mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kehidupan sosial. Karena negara akan kehilangan kedaulatannya dalam mengatur arus komunikasi, informasi dan pertukaran budaya global. Untuk itu, upaya-upaya untuk menggerakkan berbagai kekuatan lain, seperti kekuatan komunitas, warga, intelektual, ataupun profesi diharapkan dapat menjadi kekuatan alternatif untuk dapat coba menghambat dan menghentikan kecenderunan penggunaan mekanisme ekonomi – politik yang mengeksplorasi tanpa batas tubuh perempuan. Selain itu, untuk mengembalikan manusia kontemporer pada kedalaman spiritual, kehalusan nurani, dan ketajaman hati, di tengah-tengah belantara citraan, bujuk rayu, dan kepalsuan sistem budaya pop dewasa ini, maka sebuah relung bagi pengasahan spiritual harus dibangun kembali dari puing-puing keruntuannya. Pepatah harus didendangkan, dan petitih moral harus disampaikan, meskipun dengan media dan ungkapan yang berbeda.

21 Juli, 2009

Perempuan Yang Termarjinalkan


Jika seseorang bertanya tentang asal-usul perempuan, dari mana ia berasal, jawaban yang mungkin seseorang dapatkan adalah bahwa perempuan berasal dari ”tulang rusuk laki-laki”, seperti yang tersurat dalam literatur agama-agama besar dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Secara eksplisit maupun implisit agama-agama tersebut menyatakan bahwa manusia pertama adalah Adam, seorang laki-laki, lalu Tuhan menciptakan Hawa, perempuan, untuk memenuhi kebutuhan Adam. Adam diciptakan dari tanah dan Hawa diciptakan dari tulang rusuknya. Dogma seperti itulah yang bisa menjadi tiang penyangga peradaban untuk mempertahankan keistimewaan laki-laki atas perempuan, sehingga laki-laki selalu harus menang dan perempuan setiap saat harus kalah atau mengalah, dalam kata lain dogma tersebut telah menjadi alat legitimasi untuk mempertahankan status quo laki-laki. Kebanyakan laki-laki tidak sadar bahwa perempuan juga raison d’etrenya, artinya, tanpa perempuan laki-laki tidak ada. (Zulkarnaini, 2003 : 22-23). Selain mitos di atas bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, perempuan juga dijadikan tertuduh atas kasus turunnya Adam ke bumi dari surga. Hawa memaksa Adam memakan buah yang dilarang Tuhan. Implikasi dari sini adalah bahwa perempuan penyebab segala kesengsaraan anak-cucu Adam di bumi ini. Hawalah yang menyebabkan Adam tergelincir dalam dosa, dan manusia semua menanggung akibatnya (dosa warisan). Seorang filsuf besar Aristoteles (384 SM) mengatakan bahwa perempuan itu setengah manusia, dikategorikan sebagai anak-anak, belum dewasa sehingga tidak mungkin menjadi pemimpin. Freud mengatakan bahwa perempuan secara psikologis tidak matang, karena mempunyai kecemburuan terhadap penis (penis envy). (Jurnal Perempuan. Vol 01, 1996: 3). Dari dua pernyataan pemikir besar di atas dapat disimpulkan bahwa laki-laki adalah superior dan perempuan adalah inferior atau meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Beauvoir “Sosok yang Lain.” Pemberian label “Sosok yang Lain” tadi jelas suatu bias atau ketidakadilan gender. Gender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dibuat, disosialisasikan , dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan sebagainya (Heroepoetri dan Valentina, 2004: 3). Misalnya perempuan itu dikenal lemah dan emosional sehingga tidak bisa menjadi pemimpin, sementara laki-laki dikenal selalu perkasa, rasional, bijaksana sehingga pantas menjadi pemimpin. Sebenarnya ciri dan sifat itu sendiri bisa dipertukarkan akan tetapi karena proses panjang, sosialisasi gender ini mengalami pembiasan seolah-olah itu adalah kodrat dari Tuhan. Bias gender itu sendiri secara otomatis akan termanifestasi dalam suatu marginalisasi. Bias gender dengan memarginalkan perempuan memang tidak dilakukan secara formal atau struktural, akan tetapi melalui penyudutan atau positioning dan citraan-citraan atau stereotip-stereotip terhadap perempuan yang sudah mengakar dalam bingkai atau ilustrasi budaya (Sugiarti et.al., 2003: 58). Marginalisasi perempuan juga bisa dalam mitos sosial misalnya, perempuan ditempatkan dalam dunia domestik sedang laki-laki ditempatkan dalam dunia publik. Kecenderungan itu terjadi hampir di berbagai belahan dunia. Mitos itu secara tidak langsung melahirkan sebuah hukum yang tertulis bahwa aktivitas publik (ekonomi, sosial, politik) adalah aktivitas yang tidak layak bagi perempuan, perempuan hanya bertanggung jawab pada urusan yang berkaitan dengan urusan rumah tangga. Bahkan Beauvoir (2003: xiv) menyatakan bahwa sepenjang sejarah, perempuan selalu di bawah laki-laki (mungkin dengan pengecualian yang jarang, seperti penguasa, ratu, dan yang serupa dengannya yang bersifat matriarkal), dan dengan begitu ketergantungan mereka bukan merupakan hasil dari peristiwa sejarah atau perubahan sosial─sesuatu yang pernah terjadi. Bias gender juga dapat ditemukan dalam seks. Berbagai mitos mengenai seks banyak mendeskreditkan perempuan seperti apabila : Perempuan (♀) Laki-Laki (♂) Harus perawan Harus berpengalaman Reseptif Dominan Dilarang poliandri Diizinkan poligami Budiman (2001: 13) dalam Feminis Laki-laki dan Wacana Gender menuliskan bahwa kata-kata kerja tertentu yang menunjukan makna ’relasi seksual antara laki-laki dan perempuan’ masuk kedalam dikotomi aktif (me-) X pasif (di-) : Melamar x Dilamar Mengawini x Dikawini Menceraikan x Diceraikan Mencium x Dicium Memperkosa x Diperkosa Menyetubuhi x Disetubuhi Firestone melalui Abdullah (2001: 49) mengatakan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan telah menjadi realitas sosial yang terbentuk secara historis oleh berbagai proses sosial, yang kemudian menjadi susunan kekuasaan tempat perempuan berada dalam posisi yang tersubordinasi di dalam kehidupan sosial.

Perempuan dalam Novel The Da Vinci Code



Novel karya Dan Brown yang mengaitkan fakta dengan fiksi secara menarik ini diterbitkan oleh Doubleday Fiction pada 2003 dan diterjemahkan ke dalam 44 bahasa. Menurut situs resmi Dan Brown (www.danbrown.com) selama beberapa bulan buku ini menduduki peringkat pertama penjualan dan selama 32 minggu bertahan menduduki best seller di NewYork Time, dan selama satu jam dibahas dalam liputan Berita ABC.

Latar novel tersebut adalah konspirasi pihak Gereja Katolik untuk menutup cerita yang sebenarnya tentang Jesus. Pihak Vatican sebenarnya mengetahui bahwa yang disampaikan kepada umatnya adalah satu kebohongan, tetapi tetap menyembunyikannya untuk membiarkan mereka berkuasa. Novel ini mengemukakan persoalan yang timbul dibalik legenda atau mitos Cawan Suci dan peranan Mary Magdalene dalam sejarah umat Kristen. Buku yang merupakan hasil kreatif, penuh aksi dan ketegangan ini banyak menuai kritikan karena pernyataan negatifnya tentang gereja dan segala hipokrasinya.

Berawal dari kematian seorang kurator Louvre oleh salah seorang anggota sebuah organisasi Opus Dei, pembaca akan diperkenalkan dengan tokoh utama Robert Langdon ─ seorang profesor simbologi Universitas Harvard. Sang kurator meninggal dalam keadaan telanjang dan menunjukkan gaya The Vitruvian Man karya Leonardo Da Vinci dan meninggalkan pesan kepada Langdon untuk membantu menyelamatkan cucunya, Sophie, dari pembunuhan dan menguak misteri dibalik karya-karya Da Vinci. Dalam mengungkap misteri tersebut, Langdon dipaksa untuk memerah otak untuk mengaitkan kejadian, pesan dan rahasia yang mungkin tersembunyi secara rumit termasuk anagram dan fibonacci. Dalam perjalanan cerita akhirnya Langdon tahu bahwa yang pesan yang ia terima dari Sauniere berkaitan dengan tempat yang mungkin menjadi letak Cawan Suci/Holy Grail dan persatuan yang dikenali sebagai Biarawan Sion/Priory of Sion, begitu juga dengan Ksatria Templar dan Opus Dei.

Cawan Suci menurut novel tersebut bukanlah gelas yang dipakai Yesus dalam Perjamuan Suci, akan tetapi ia adalah seorang perempuan bernama Maria Magdalena. Menurut buku ini, Maria Magdalena merupakan isteri Yesus dan ia sedang mengandung anaknya ketika penyaliban dilakukan. Sebagai seorang perempuan, ia dianggap sejajar dengan pria. Namun, oleh gereja keberadaanya dinafikan dan ia dianggap sebagai pelacur oleh pihak Gereja, bahkan pihak gereja sendiri menyembunyikan kebenaran tentang pertalian darah antara Maria Magdalena dan Yesus selama 2000 tahun, hal ini disebabkan mereka takut akan kuasa perempuan yang telah dirasuki Syaitan. Pemelacuran yang dilakukan gereja terhadap Maria Magdalena merupakan sebuah upaya untuk melakukan pemarjinalan terhadap perempuan, tapi oleh Biarawan Sion, holy grail ini dilindungi. Mereka berusaha untuk mereposisikan kembali perempuan yang selama ini selalu dimarjinalkan dengan melakukan serangkaian upacara yang berakar dari kepercayaan masa lalu yaitu Pagan.[1] Dalam novel ini Pagan merepresentasikan sebuah agama yang menyembah Dewi sebagai Tuhan mereka, seperti menyembah Dewi Kesuburan dan Dewi Matahari. Judul The Da Vinci Code (Kode Da Vinci) ini mengacu pada beberapa karya Da Vinci seperti The Vitruvian Man, Monalisa, dan The Last Supper. Da Vinci sendiri diceritakan sebagai anggota kelompok Biarawan Sion tersebut. Karya-karya Da Vinci tersebut mengindikasikan adanya penyatuan antara yin dan yang, laki-laki dan perempuan. Contohnya pada lukisan Monalisa, lukisan ini diinterpretasikan sebagai gabungan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan disimbolkan sebagai grail, dilambangkan dalam bentuk ▼ merepresentasikan rahim yang memberikan kehidupan bagi manusia. Kebalikannya dengan laki-laki yang disimbolkan dengan ▲ seperti mata pedang, yang saat ini masih dipakai dalam pangkat kemiliteran. Jika digabungkan maka akan menjadi bintang David, yang merupakan lambang penyatuan laki-laki dan perempuan dan mingisayaratkan bahwa perempuan dan laki-laki sejajar



[1] Menurut Encyclopedia Americana. Vol 21. 1975, hal 96h. Pagan adalah istilah yang diberikan oleh orang-orang Kristen Graeco-Roman kepada mereka yang tidak beragama Kristen ― menyembah True God. Pagan sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu Paganus yang berarti orang desa. Pada masa modern penggunaan kaa Pagan lebih dispesifikkan untuk mereka yang tidak menganut agama Kristen, Yahudi, dan Islam.